Mungkin tidak ada ygn kenal dengan 2 namad diatas. Tapi sengaja saya masukkan dalam article saya sebagai contoh teladan semangat "never give up" agar sukses di kehidupan ini.
Homo Faber (manusia kerja) adalah sosok pasangan Waliyem-Wandiyo. Berawal dari dua sejoli transmigran yang papa, kini menjadi juragan berbagai bisnis di Kabupaten Bangko, Jambi. Suwardi
Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam satu belanga. Itu peribahasa yang bisa menggambarkan pertemuan Waliyem yang berasal dari Godean dan Wandiyo dari Tumut, Sleman Yogyakarta. Pada tahun 1977, Waliyem berangkat ke Bungo untuk menyusul kakaknya yang terlebih dahulu menjadi transmigran sedangkan Wandiyo menyusul sang paman. Hanya berselang seminggu setelah menginjakkan kaki di Jambi, dua lajang ini pun kemudian terikat tali pernikahan.
Di tanah seberang, tanpa bekal modal dan pendidikan yang memadai tentulah kehidupan terasa sulit bagi pasangan muda ini. Namun duet duo W ini tak pernah menyerah. Sekadar menyambung hidup, Waliyem berjualan nasi bungkus di penyeberangan sungai dekat tempat tinggalnya, sementara sang suami bekerja sebagai buruh penyadap karet. Rupiah demi rupiah mereka kumpulkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sedikit sisanya mereka tabung.
Di siang hari, selepas berjualan nasi bungkus dan menyadap karet, Waliyem dan Wandiyo pulang ke rumahnya yang kecil, pendek dan beratap seng. Gampang diduga, hawa di dalam rumah panas dan sumpek. Tetapi, justru dari rasa tidak nyaman ini timbul ide Waliyem untuk berbisnis genteng. “Kalau atapnya terbuat dari genteng, mungkin rasanya tidak akan sepanas dan segerah jika atapnya terbuat dari seng,” pikir Waliyem saat itu.
Dengan tabungan yang tidak terlalu besar dan dengan keterampilan membuat genteng dari tanah liat yang mereka peroleh sewaktu masih kecil, pasangan Waliyem-Wandiyo mencoba untuk memproduksi genteng, meskipun masih dalam skala kecil-kecilan.
Genteng hasil produksinya ini tidak serta merta bisa menghasilkan uang tunai, tetapi dibarter dengan atap seng milik para warga transmigran. Kemudian seng-seng itu baru dijual ke kota. Waliyem melihat dari fungsi kenyaman genteng jauh lebih baik, tetapi dari sisi ekonomi genteng jauh lebih murah dibandingkan seng. Dari selisih harga seng dan genteng itulah, Waliyem dan Wandiyo mendapatkan keuntungan. Dengan sabar mereka mengumpulkan keuntungan tersebut. Ketika jumlahnya keuntungannya sudah lumayan besar, maka dana itu mereka suntikkan untuk memperbesar skala usaha produksi genteng.
Secara cerdas Waliyem dan Wandiyo mengajak warga lain untuk menjadi pemasarnya. Sehingga di tiap unit desa transmigrasi di seluruh pelosok Provinsi Jambi tercatat menjadi pelanggannya. Karena tingginya permintaan, Waliyem-Wandiyo membuat pabrik genteng lagi sehingga jumlahnya mencapai 14 pabrik.
Dengan semakin banyaknya rumah para transmigran yang beratap genteng, tentu saja pasarnya semakin mengecil, tidak seperti pada saat-saat awalnya. Namun pasangan ini tak kehabisan ide. Seiring dengan membaiknya ekonomi para warga transmigran, Waliyem mulai menyasar untuk menjual bahan bangunan, karena naluri bisnisnya melihat adanya kecenderungan warga yang mulai mengganti dinding rumah mereka yang semula terbuat dari papan dengan tembok Ternyata, pilihan bisnisnya ini juga sangat jitu, toko bahan bangunannya laris manis. Tak hanya berhenti sampai di situ saja, Waliyem kemudian mengembangkan usahanya dengan menjadi pemborong untuk pembangunan rumah sekaligus mengisi mebelernya.
Sumber: Majalah pengusaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar